Jumat, 24 Mei 2013

DISKUSI PANEL PELAJAR - MAHASISWA DALAM RANGKA PELANTIKAN PENGURUS IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA GARUT (IJTI GARUT) di Hotel Agusta Garut, 21 Mei 2013

Oleh : Agus Saefudin
(PK Ekonomi Syariah IMM STAIDA Garut)


Ketua Umum IMM STAIDA Muhammadiyah Garut, beliau menyuruh untuk sebagian anggotanya untuk mengikuti acara Diskusi Panel Pelajar Dan Mahasiswa dalam rangka pelantikan pengurus IJTI  Garut. dengan di Hadiri oleh perwakilan Bupati, Mentri, Rektor Universitas Garut, Alumni IJTI dsb, juga di hadiri oleh peserta dari Pelajar mulai dari tingkat SMA, Mahasiswa dan Salah satunya Mahasiswa STAIDA Muhammadiyah Garut.
Seperti  biasa peserta hanya menyimak apa yang akan di sampaikan oleh para panitia penyelenggara. Adapun dalam acara ini ada seseorang pemateri dari KPID Jabar (Komisi penyiaran Indonesia) bapak Abdul Holiq M.A dengan temanya “Tayangan yang berkualitas adalah tayangan yang sehat” dan beliau memaparkan bahwa aktifritas masyarakat tidak akan terlepas dari media karna memang media sudah ada di sekitar kita, dari mulai radio televisi dan internet yang sekarang sudah membuming, namun yang patut kita sadari dalam setiap rumah tentu pasti selalu ada Televisi dan tentunya masyarakat tidak akan mendiamkan benda itu tentu akan di tontonnya.
Semuya masyarakat tentunya tentunya ingin selalu menonton Televisi dari mulai Anak – Anak, remaja, dewasa, orang tua yang sudah rentan dan bahkan kucing peliharaan pun akan ikut menonton Televisi dan inilah yang akan sangat berpengaruh sekali terhadap masyarakat. Bayangkan para pelajar waktu sekolah setahunnya 800 Jam, sehari 3 – 5 Jam sepekan 18 – 30 Jam 200 hari untuk belajar, dan untuk menonton TV setahun 1600 Jam sehari 4 – 5 jam sepekan 30 – 35 Jam. Kalo melihat dari prediksi ini  yang menonton TV lebih dominan ketimbang Belajar.
Ketika tadi berbicara mengenai sebuah dampak dan pengaruh dari media atau salah satunya Televisi berkenaan itu ada sebuah solusi bagai mana masyarakat perlu tahu literasi media yaitu untuk menjadi pemirsa yang cerdas dan keritis supaya pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang agar dapat menggunakan media itu dengan benar dan optimal.
Pengetahuannya adalah  adanya adegan perkelahian di sinetron atau di reality show itu tidak sungguhan iklan bertujuan konsultif, lalu isi media cendrung di gambarkan berlebihan di bandingkan yang sesungguhnya dan juga harus mempuyai kemampuan (skill) lalu mengerti teknik Flashback, paham penggunaan ilustrasi music/sepesial efek dari Film dapat mengngambil suatu manfaat dari media untuk kebuthannya. Bahkan ketika melihat dan menonton Televisi tubuh kita harus dalam keadaan fit dan menekankan jumlah waktu yang kita habiskan dala mengkonsumsi media dengan pikiran kosong dan juga merencanakan atau memprogram secara sudah isi materi media yang kita biarkan menarik perhatian kita. Lalu mayarakat akan senantiasa mewaspadai dampak dari media dan akan dapat mengantisipasinya, pemirsa akan menanggapi pesan media secara kritis
Pemirsa atau penonton harus cerdas dan kritis supaya menjadikan tontonan dari media itu sebagai kegiatan pilihan dengan membatasi waktunya pilihan program acara yang sesuai dengan usia baik dan bermanfaat lalu kalo ada tontonan yang melanggar Norma – norma, keritisilah bila ada isi atau saran yang buruk, dan juga dapat mengadukanya ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Kamis, 23 Mei 2013

“Saat Sang Panglima Perang Babilonia Memasuki KELAS”

Oleh : Den-Den Rastugi (PK PAI IMM STAIDA M Garut)

Apa yang ada dalam pikiran anda saat mendengar atau membaca kalimat sang panglima perang babilonia? Untuk kaum akademis saat mendengar dan membaca kalimat panglima perang babilonia secara implisit/tidak langsung pikiran kita akan menarik pandangan pandangan yang negatif demi mendeskripsikan bentuk fisik/protife dari kalimat tersebut, mungkin pikiran anda akan mengatakan bahwa panglima perang babilonia adalah seorang yang haus akan darah, kejam, sadis,tidak beradab dll, secara parsial pikiran anda dikatakan benar bila di sintesakan dengan fakta sejarah,  adalah Nebukadnezar dari babiloniaseorangyang kejam.
Dia menyembelih anak-anak Zedekiah, Raja al Quds di depan khlayak. Tidak cukup dengan itu, anak-anak Zedekiah itu kemudian dicungkil matanya dan diseret sebagai tawanan (Imam Mahdi, karya Prof. Ali al Kurani), tokoh ini memberikan daftar panjang terhadap stigma negatif dari sejarah babilonoia ini walaupun tidak menutup kemungkinan adanya aspek positif dalam kehidupan babilonia itu sendiri, saya rasa secara tentatif/sementara pikiran anda telahmemproduksi  prototipe/model  riel mengenai panglima perang babilonia tersebut, namun disini saya tidak akan membahas secara holistik mengenai Panglima perang Babilonia ini, tetapi apabila kalimat panglima perang babilonia ini di benturkan dengan kata kelas pikiran kita akan menghubungkan  prototipe/model rier tadi dengan gambaran kelas, sebagai sarana belajar peserta didk/mahasiswa, mari kita kontemplasikan/bayangkan kausalitas/sebab dan akibat yang terjadi pada peserta didik/mahasiswa tatkala seorang panglima perang babilonia memasuki kelas dan memimpin  peroses belajar mengajar/PBM.  John Goodlad seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat dengan penilitian yang berjudul “Behind Classroom Doors” yang menjelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu kelas maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. 
Hal tersebut sangat masuk akal karena ketika proses pembelajaran, guru bisa melakukanapa saja dikelas, ia akan tampil sebagai sosok fasilitator,inspirator,motivator ataupun seorang diktator.dan seorang panglima perang babilonia tentu saja akan tampil sebagai sosok diktator yang tidak disegani tetapi ditakuti oleh para peserta didiknya, kelas yang dipimpin oleh panglima perang babilonia dengan metode dan model pembelajaran konservatif/treadisional (otoriter/diktator) ini biasanya mengakibatkan  iklim dari proses pembelajaran yang begitu sarat dengan ketegangan dan kekakuan , alhasil/implikasinya dalam proses pembelajaran  peserta didik tidak akan berkembang secara kognitif daya ingat yang fluktuatif (sekarang ingat besok lupa) pola pikir yang tidak kritis, kemudian secara afektif peserta didik tidak akan mempunyai kepercayaan diri,motivasi dan keberanian untuk berinteraktif dalam proses pembelajaran,prilaku kreativitas siswa yang berhubungan dengan pembelajaran sebagai entitas/perwujudan dari sikomotorikpun tidak akan berkembang/dinamis, itu semuadikrnakan pada proses transfer of konowledge (ceramah/teacher center)metode yang biasa dilakukan oleh para diktator kelas ini tidak dapat dicerna secara masak oleh peserta didik disebabkan yang ada dalam pikiran mereka hanyalah ketakutan berbuat salah, seperti kesalahan menjawab (sebagai evaluasi pembelajaran) akan menyebabkan mereka mendapatkan punishment fisik atau punishment verbal yang syarat akan bahasa-bahasa intimidasi, dan ini akan berimplikasi pada keregresifan/kemunduran sikologis/mental/kompetensi anak menghadapi pembelajaran atau lebih jauhnya dalam  menghadapi kehidupan yang riel di masyarakat. padahal dalam pasal 19 ayat  (1) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Setandar Nasional, pembelajaran harus disajikan secara menarik , wujud dari pemblajaran tersebut harus interaktif, inspiratif menyenangkan, menantang memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memmberikan ruang yang cukup bagi prakarsa , kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 
Para pakar pendidikan modern seperti Prof. Suyanto, Ph.D. Drs. Asep Djihad, M.Pd. saat ini setuju akan proses pembelajaran seperti CBSA/studentt centerd (new Learning) dll, yang menuntut adanya proses egalaiter/konselor antara guru dan peseta didik dalam proses pembelajaran sehingga memberikan iklim pembelajaran yang menarik, jadi kepada para diktator kelas/panglima perang babilonia segara bertobatlah .

Referensi : 
Suyanto. Dan djihad, A. 2012. Bagaimana Menjadi Calon Guru dan Guru Profesional. Yogyakarta Multi Pressindo