“Sebuah Inspirasi dari Kajian
Malam Minggu”
Oleh :
IMMawan Uday N’ Ikhone
PK PAI IMM STAIDA Muhammadiyah Garut |
Dalam studi keilmuan
dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli peneliti bahwa hakekat yang dicari
oleh manusia adalah kebahagiaan tanpa batas. Tafsiran kebahagiaan itu memiliki
dimensi yang sangat luas dan tidak di persempitkan oleh prilaku manusia.
Kalimat Billahi dalam tatanan bahasa Indonesia maupun
keistilaan merupakan sebuah perwakilan hati nurani untuk mencapai kebenaran yang
di ukur melalui kekuatan moralitas dan prilaku manusia. Billahi adalah
refresentasi naluri dan gagasan yang di aktualisasikan dalam prinsip nilai
kemanusiaan sehingga menjadi bagian yang terintegrasi satu sama lainnya.
Sementara kalimat Fii Sabilil haq membawa makna tersendiri dan tak
terpisahkan dari substansinya dengan pemaksimalan potensi diri yang didukung
oleh kekuatan moralitas dan prilaku yang baik sebagai jembatan untuk mencapai
keberkatan dan keberkahan. Arti jembatan dalam prinsip Fii Sabilil haq adalah
alat untuk menunaikan segala kemampuan gagasan, material, spirit dan etos kerja
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keillahiannya sebagai spirit amal sholeh
menuju kebahagiaan hakiki.
Keberlanjutan Fii
Sabilil haq dalam prinsip nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan
apabila segala sesuatu yang dikerjakan sesuai dengan hak dan kewajiban tanpa
ada rasa iri hati, dengki, hasat dan lain sebagainya. Namun hal ini sangatlah
sulit ditemukan pada zaman sekarang ini karena pandangan pragmatisme sudah kuat
dalam naluri manusia yang terkadang mengalahkan rasa keimanan manusia itu
sendiri. Hal inilah yang tak bisa dipisahkan oleh individu sehingga menyebabkan
kerakusan tanpa batas dengan tidak memperhitungkan akibatnya. Sementara dimensi
manusia tentu saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan setiap haq manusia
juga terdapat haq orang lain. Ini sebenarnya yang sangat jarang di pahami oleh
manusia, padahal dimensi ini merupakan bagian terpenting sebagai proses
pemaksimalan potensi diri untuk merebut kebahagiaan yang hakiki.
So, cobalah kita
renungkan bagaimana yang terjadi dalam proses sebuah system bernegara dan
berbangsa atau berorganisasi sekalipun, pasti kekerasan terhadap nuraninya
sendiri justru menjadi sangat kental misalnya melakukan korupsi, berusaha tidak
jujur, apalagi sering berbuat tidak adil. Hal semacam ini merupakan aspek
kongkrit dari pengambilan hak orang lain dan melakukan penghianatan terhadap
konvensi kolektif dari sebuah aturan yang disepakati bersama. Bahasa haq
merupakan symbol sekaligus kekuatan baru dan tumpuan harapan manusia
seutuhnya. Namun ada hal yang berbeda ketika haq di posisikan
sebagai kekuatan natural material maka yang terjadi justru pembelotan
makna haq itu sendiri yang mengakibatkan krisis prilaku baik.
Dimensi haq akan selalu melahirkan efek negatif antara
konvensi kolektif dan konvensi individu. Dua faktor itu penyebab pendeknya arus
kesadaran pada manusia oleh karena minimnya tafsir internalisasi diri terhadap
problem yang terjadi antara individu dan basis sosial. Keuniversalan Fii
Sabilil haq adalah jembatan untuk menengahi segala faktor negatif tersebut
sehingga kesadaran manusia bisa terarah dan fokus pada amaliahnya, maka dengan
seperti itulah manusia akan menuju pada sirathal mustakiim yang
dapat menciptakan perdamaian yang hakiki, dan mengeluarkan dari jeratan hutang
amal.
Sehubungan
dengan berbagai pandangan para akademisi Islam maupun para ahli fiqih bahwa
keragaman (multi persfektif) tentang makna sebenarnya Billahi
Fii Sabilil haq, itu merupakan khasanah yang tak boleh ditinggalkan
karena hal tersebut akan memperkaya proses iqranisasi yang bersumber tetap pada
kalam illahiah. Kemudian khasanah tersebut di urai dalam satu naungan
keberimanan untuk menjadi pandangan dan keyakinan yang mantap dan solid
sehingga segala dimensi ruang dan waktu terisi oleh amaliah yang tidak terukur
dan tak terhitung. Satu naungan tersebut haruslah di lengkapi dengan berbagai
faktor teologi dan ideologi yang di hubungkan dengan faktor keragaman sosial
manusia sehingga memberikan pemahaman yang baik sebagai panduan dan jalan
menuju kesadaran amaliahnya sebagai titik kulminasi penuh dalam proses
keduaniaannya. Naungan itu lebih di satukan dalam dimensi Fastabiqul Khairat
(berlomba-lomba dalam kebaikan) tanpa mengenal tapal batas dan waktu.
Dengan demikian Fastabiqul Khairat merupakan langkah strategis
manusia sebagai alat penyempurnaan segala aspek ibadah, keimanan, ketaqwaan dan
keyakinan akan sang pencipta. Makna inilah yang akan kita jadikan sebuah
mainstream sebagai jalan doktrinal ideologi untuk mencapai kesempurnaan haq di
jalan Tuhan.
Selama ini
banyak tafsiran dan metode yang di gunakan oleh berbagai ulama maupun akademisi
Islam yang berusaha menempatkan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat sebagai
bagian dari aksi radikalisasi dan meminta agama sebagai hakim dengan melakukan
pembenaran terhadap radikalisasi serta kekerasan tersebut. Hal ini sala satu
kelemahan dalam memberikan pandangan terhadap makna Billahi Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat sehingga menyebabkan sesat fikir dan tidak obyektif
menelisik perkembangan dunia pada zamannya. Akibat dari sesat fikir tersebut
banyak melahirkan generasi ulama dan akademisi Islam yang justru membawa Islam
pada wilayah mencoreng wajahnya sendiri dengan melakukan kekerasan serta radikalisasi
atas nama agamanya. Sedemikian rupawan dan keragaman yang multi persfektif
timbul di tengah ulama dan para akademisi dalam memformulasikan makna Fii
Sabilil haq Fastabiqul Khairat. Ini harus dikritik sebagai bentuk
penumbuhan sikap egaliter dan moderat terhadap perkembangan zaman dalam
pandangan Islam. Mengapa? sederet dan bersusunan persoalan yang sering kita
jumpai belum bisa menuntaskannya sebagai indikator bahwa kita sesungguhnya
belumlah mengalami kemajuan yang signifikan. Seumpama saja persoalan “maaf” TKI
misalnya dan kemelut politik di negeri ini yang tidak kunjung ada common
will untuk menyelsaikannya, padahal itu merupakan sebuah tanggungjawab
besar dalam system khalifah (kepemimpinan), namun yang terjadi
meninggalkan bekas luka yang mendalam di hati umatnya (rakyat) sendiri.
Seharusnya Fii
Sabililhaq Fastabiqul Khairat dijadikan cambuk untuk membangun
peradaban yang lebih baik dan menata seluruh sendi kehidupan dengan rapi, aman
dan sentosa. Kerinduan akan perdamaian sala satu misi yang harus di gapai
melalui instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat, kerinduan
perdamaian dan kebahagiaan yang di rindukan itu tak akan pernah lelah untuk
diharapkan sebagaimana apa yang di rindukan oleh tuhannya ketika menunjuk
manusia sebagai khalifah dan menyongsong peradaban yang baik dengan
instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat dalam menggapai
kehidupan jannah. Apapun latar belakang manusia akan tetap merujuk dan
bersumber pada kebenaran itu melalui fastabiqul khaerat sebagai alat
penyempurnaan segala amaliah yang ada. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat merupakan
deklarasi nurani setiap manusia untuk berbuat baik tanpa ada larangan, selagi
itu semua dalam koridor masing-masing dengan memperhatikan asas teologisnya.
Namun di balik segala yang di pandang baik pasti ada terselip sesuatu yang di
anggap keburukan, entah itu ada indikasi provokasi negatif terhadap prilaku
atau terlepas dari segala kemungkinan buruk, karena merasa telah mengalami
kepuasan sehingga provokasi negatif pun selalu ada. Mengutif apa yang dikatakan
oleh Djazman Al Kindi bahwa kepuasan cenderung membawa mudarat dan mengalami
dekandensi sehingga semua insan manusia sering sfekulatif dalam pandangannya.
Kepuasan inilah yang sering menyebabkan tanpa control sehingga lambat laun
mengalami krisis moralitas dan prilaku baik.
Kita bisa
ilustrasikan bahwa kekacauan yang terdapat di tengah jalan penyelsaiannya
merupakan kecendrungan yang sifatnya tetap dan sering menjadikan sarana
emosional yang tak tertahankan baik secara nurani maupun fisik. Hal ini
kemudian menjadi kontroversi yang sangat pahit dan hanya merupakan abstraksi
dari kepuasan spesifik. Padahal kita tahu semua bahwa kepuasan adalah alat
analisis amaliah yang paling ampuh sebagai faktor terbesar untuk melakukan
identifikasi dan mengukur tingkat kemampuan berfastabiqul khaeratnya setiap
manusia. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat tidak dapat di
pisahkan atau di isolasikan dari basis teologis masyarakat, bukanlah seperti
sari buah yang sifatnya homogen dan spesifik untuk di konsumsi. Tepatnya,
intensitas Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sama persisnya
dengan apa yang di lakukan dalam durasi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan
untuk menjawab dan menentukan arah dari kekuatan Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat. Maka setiap yang melakukannya akan mengatakan itu
adalah preferensi yang sungguh-sungguh di perhitungkan sebagai kuantitas piñata
peradaban. Tidak ada yang keberatan untuk menggunakan jalan ini dan kalaupun
meninggalkan makna Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sebagai
standar dan mengantikannya dengan prilaku maka menjadi jelaslah bahwa itu hanya
alat polesan nuraninya sebagai bentuk pertobatan sementara, sehabis itu di
landa oleh krisis moral dan kejelekan tiada akhir.
Pada
hakekatnya mengimplementasikan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul
Khairat dalam arus besar pemikiran kita akan menjadi sslebih baik,
karena sudah jelas bahwaFastabiqul Khaerat di jalan yang terbaik
itu lebih bermanfaat daripada kita menjadi babi terperangkap dan buta tuli
terhadap esensi kehidupan. Coba kita bawa alam argumentasi Fii
Sabililhaq Fastabiqul Khairat dalam nurani dan pikiran murni kita
untuk selangkah lebih jauh lagi dan anggaplah selama ini kita banyak meraup dan
mendapatkan kesenangan secara langsung dan memperoleh melalui tahapan yang
panjang, dibandingkan dengan kini yang kita hadapi dan lihat bersama drama
kemungkaran tanpa layak di pertontonkan dan di contohkan. Mengutif tulisan Muhammadun AS
(Jawa Post, 07/07/2012) mengatakan bahwa umat beragama terasa mulai menggunakan
jubah namun berprilaku tidak baik. Ini merupakan implikasi dari pola pemahaman
yang masih split (pecah) terhadap penomen kehidupan. Hal ini pun pasti terjadi
prinsip kapitalisasi fastabiqul khaerat dalam konteks bayar membayar dalam
perlombaan kebaikan. Padahal yang harus kita ketahui bahwa konsep manusia
merupakan mahluk sosial yang bisa di katakan semirusak sehingga seringkali
lahir generasi yang hipokrit tanpa bisa memaknai bahwa kelahiran manusia di
peruntukan untuk menjaga dan memelihara bumi dan segala isinya berdasarkan perintah
tuhan. Ketakutan selama ini peran fastabiqul khaerat sudah terjebak dan
mengalami kekosongan dalam suasana naluri manusia untuk berfastabiqul khaerat.
Persoalan inilah yang di alami oleh umat beragama yang kebanyak artificial dan
adanya defotisme hawa nafsu yang memorak-morandakan nurani manusia. Nabi
tidaklah memerintahkan umatnya untuk selalu sibuk dengan ritual yang
membosankan, namun bagaimana umatnya harus bisa memberikan kontribusi
mengeluarkan saudara-saudaranya yang masih tertinggal dan mengalami kemiskinan
serta terbelakang. Berfastabiqul khaerat dalam menolong sesama dan memberikan
penghidupan bagi kaum miskin merupakan panggilan nurani yang suci dari lubuk
hati sehingga dapat menemukan makna substantif dari Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat. Sudah saatnya umat beragama kembali pada
substansi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat agar kita semua
menjadi bagian yang terindah sebagai kado kebahagiaan dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar