Senin, 10 Juni 2013

JARGON DAN JATI DIRI IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH


“Sebuah Inspirasi dari Kajian Malam Minggu” 
Oleh : IMMawan Uday N’ Ikhone 

PK PAI IMM STAIDA Muhammadiyah Garut
 Dalam studi keilmuan dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli peneliti bahwa hakekat yang dicari oleh manusia adalah kebahagiaan tanpa batas. Tafsiran kebahagiaan itu memiliki dimensi yang sangat luas dan tidak di persempitkan oleh prilaku manusia. Kalimat Billahi dalam tatanan bahasa Indonesia maupun keistilaan merupakan sebuah perwakilan hati nurani untuk mencapai kebenaran yang di ukur melalui kekuatan moralitas dan prilaku manusia. Billahi adalah refresentasi naluri dan gagasan yang di aktualisasikan dalam prinsip nilai kemanusiaan sehingga menjadi bagian yang terintegrasi satu sama lainnya. Sementara kalimat Fii Sabilil haq membawa makna tersendiri dan tak terpisahkan dari substansinya dengan pemaksimalan potensi diri yang didukung oleh kekuatan moralitas dan prilaku yang baik sebagai jembatan untuk mencapai keberkatan dan keberkahan. Arti jembatan dalam prinsip Fii Sabilil haq adalah alat untuk menunaikan segala kemampuan gagasan, material, spirit dan etos kerja untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keillahiannya sebagai spirit amal sholeh menuju kebahagiaan hakiki.
Keberlanjutan Fii Sabilil haq dalam prinsip nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan apabila segala sesuatu yang dikerjakan sesuai dengan hak dan kewajiban tanpa ada rasa iri hati, dengki, hasat dan lain sebagainya. Namun hal ini sangatlah sulit ditemukan pada zaman sekarang ini karena pandangan pragmatisme sudah kuat dalam naluri manusia yang terkadang mengalahkan rasa keimanan manusia itu sendiri. Hal inilah yang tak bisa dipisahkan oleh individu sehingga menyebabkan kerakusan tanpa batas dengan tidak memperhitungkan akibatnya. Sementara dimensi manusia tentu saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan setiap haq manusia juga terdapat haq orang lain. Ini sebenarnya yang sangat jarang di pahami oleh manusia, padahal dimensi ini merupakan bagian terpenting sebagai proses pemaksimalan potensi diri untuk merebut kebahagiaan yang hakiki.
So, cobalah kita renungkan bagaimana yang terjadi dalam proses sebuah system bernegara dan berbangsa atau berorganisasi sekalipun, pasti kekerasan terhadap nuraninya sendiri justru menjadi sangat kental misalnya melakukan korupsi, berusaha tidak jujur, apalagi sering berbuat tidak adil. Hal semacam ini merupakan aspek kongkrit dari pengambilan hak orang lain dan melakukan penghianatan terhadap konvensi kolektif dari sebuah aturan yang disepakati bersama. Bahasa haq merupakan symbol sekaligus kekuatan baru dan tumpuan harapan manusia seutuhnya. Namun ada hal yang berbeda ketika haq di posisikan sebagai kekuatan natural material maka yang terjadi justru pembelotan makna haq itu sendiri yang mengakibatkan krisis prilaku baik. Dimensi haq akan selalu melahirkan efek negatif antara konvensi kolektif dan konvensi individu. Dua faktor itu penyebab pendeknya arus kesadaran pada manusia oleh karena minimnya tafsir internalisasi diri terhadap problem yang terjadi antara individu dan basis sosial. Keuniversalan Fii Sabilil haq adalah jembatan untuk menengahi segala faktor negatif tersebut sehingga kesadaran manusia bisa terarah dan fokus pada amaliahnya, maka dengan seperti itulah manusia akan menuju pada sirathal mustakiim yang dapat menciptakan perdamaian yang hakiki, dan mengeluarkan dari jeratan hutang amal.
Sehubungan dengan berbagai pandangan para akademisi Islam maupun para ahli fiqih bahwa keragaman (multi persfektif) tentang makna sebenarnya Billahi Fii Sabilil haq, itu merupakan khasanah yang tak boleh ditinggalkan karena hal tersebut akan memperkaya proses iqranisasi yang bersumber tetap pada kalam illahiah. Kemudian khasanah tersebut di urai dalam satu naungan keberimanan untuk menjadi pandangan dan keyakinan yang mantap dan solid sehingga segala dimensi ruang dan waktu terisi oleh amaliah yang tidak terukur dan tak terhitung. Satu naungan tersebut haruslah di lengkapi dengan berbagai faktor teologi dan ideologi yang di hubungkan dengan faktor keragaman sosial manusia sehingga memberikan pemahaman yang baik sebagai panduan dan jalan menuju kesadaran amaliahnya sebagai titik kulminasi penuh dalam proses keduaniaannya. Naungan itu lebih di satukan dalam dimensi Fastabiqul Khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) tanpa mengenal tapal batas dan waktu. Dengan demikian Fastabiqul Khairat merupakan langkah strategis manusia sebagai alat penyempurnaan segala aspek ibadah, keimanan, ketaqwaan dan keyakinan akan sang pencipta. Makna inilah yang akan kita jadikan sebuah mainstream sebagai jalan doktrinal ideologi untuk mencapai kesempurnaan haq di jalan Tuhan.
Selama ini banyak tafsiran dan metode yang di gunakan oleh berbagai ulama maupun akademisi Islam yang berusaha menempatkan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat sebagai bagian dari aksi radikalisasi dan meminta agama sebagai hakim dengan melakukan pembenaran terhadap radikalisasi serta kekerasan tersebut. Hal ini sala satu kelemahan dalam memberikan pandangan terhadap makna Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat sehingga menyebabkan sesat fikir dan tidak obyektif menelisik perkembangan dunia pada zamannya. Akibat dari sesat fikir tersebut banyak melahirkan generasi ulama dan akademisi Islam yang justru membawa Islam pada wilayah mencoreng wajahnya sendiri dengan melakukan kekerasan serta radikalisasi atas nama agamanya. Sedemikian rupawan dan keragaman yang multi persfektif timbul di tengah ulama dan para akademisi dalam memformulasikan makna Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat. Ini harus dikritik sebagai bentuk penumbuhan sikap egaliter dan moderat terhadap perkembangan zaman dalam pandangan Islam. Mengapa? sederet dan bersusunan persoalan yang sering kita jumpai belum bisa menuntaskannya sebagai indikator bahwa kita sesungguhnya belumlah mengalami kemajuan yang signifikan. Seumpama saja persoalan “maaf” TKI misalnya dan kemelut politik di negeri ini yang tidak kunjung ada common will untuk menyelsaikannya, padahal itu merupakan sebuah tanggungjawab besar dalam system khalifah (kepemimpinan), namun yang terjadi meninggalkan bekas luka yang mendalam di hati umatnya (rakyat) sendiri.
Seharusnya Fii Sabililhaq Fastabiqul Khairat dijadikan cambuk untuk membangun peradaban yang lebih baik dan menata seluruh sendi kehidupan dengan rapi, aman dan sentosa. Kerinduan akan perdamaian sala satu misi yang harus di gapai melalui instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat, kerinduan perdamaian dan kebahagiaan yang di rindukan itu tak akan pernah lelah untuk diharapkan sebagaimana apa yang di rindukan oleh tuhannya ketika menunjuk manusia sebagai khalifah dan menyongsong peradaban yang baik dengan instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat dalam menggapai kehidupan jannah. Apapun latar belakang manusia akan tetap merujuk dan bersumber pada kebenaran itu melalui fastabiqul khaerat sebagai alat penyempurnaan segala amaliah yang ada. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat merupakan deklarasi nurani setiap manusia untuk berbuat baik tanpa ada larangan, selagi itu semua dalam koridor masing-masing dengan memperhatikan asas teologisnya. Namun di balik segala yang di pandang baik pasti ada terselip sesuatu yang di anggap keburukan, entah itu ada indikasi provokasi negatif terhadap prilaku atau terlepas dari segala kemungkinan buruk, karena merasa telah mengalami kepuasan sehingga provokasi negatif pun selalu ada. Mengutif apa yang dikatakan oleh Djazman Al Kindi bahwa kepuasan cenderung membawa mudarat dan mengalami dekandensi sehingga semua insan manusia sering sfekulatif dalam pandangannya. Kepuasan inilah yang sering menyebabkan tanpa control sehingga lambat laun mengalami krisis moralitas dan prilaku baik.
Kita bisa ilustrasikan bahwa kekacauan yang terdapat di tengah jalan penyelsaiannya merupakan kecendrungan yang sifatnya tetap dan sering menjadikan sarana emosional yang tak tertahankan baik secara nurani maupun fisik. Hal ini kemudian menjadi kontroversi yang sangat pahit dan hanya merupakan abstraksi dari kepuasan spesifik. Padahal kita tahu semua bahwa kepuasan adalah alat analisis amaliah yang paling ampuh sebagai faktor terbesar untuk melakukan identifikasi dan mengukur tingkat kemampuan berfastabiqul khaeratnya setiap manusia. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat tidak dapat di pisahkan atau di isolasikan dari basis teologis masyarakat, bukanlah seperti sari buah yang sifatnya homogen dan spesifik untuk di konsumsi. Tepatnya, intensitas Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sama persisnya dengan apa yang di lakukan dalam durasi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan untuk menjawab dan menentukan arah dari kekuatan Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat. Maka setiap yang melakukannya akan mengatakan itu adalah preferensi yang sungguh-sungguh di perhitungkan sebagai kuantitas piñata peradaban. Tidak ada yang keberatan untuk menggunakan jalan ini dan kalaupun meninggalkan makna Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sebagai standar dan mengantikannya dengan prilaku maka menjadi jelaslah bahwa itu hanya alat polesan nuraninya sebagai bentuk pertobatan sementara, sehabis itu di landa oleh krisis moral dan kejelekan tiada akhir.
Pada hakekatnya mengimplementasikan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat dalam arus besar pemikiran kita akan menjadi sslebih baik, karena sudah jelas bahwaFastabiqul Khaerat di jalan yang terbaik itu lebih bermanfaat daripada kita menjadi babi terperangkap dan buta tuli terhadap esensi kehidupan. Coba kita bawa alam argumentasi Fii Sabililhaq Fastabiqul Khairat dalam nurani dan pikiran murni kita untuk selangkah lebih jauh lagi dan anggaplah selama ini kita banyak meraup dan mendapatkan kesenangan secara langsung dan memperoleh melalui tahapan yang panjang, dibandingkan dengan kini yang kita hadapi dan lihat bersama drama kemungkaran tanpa layak di pertontonkan dan di contohkan. Mengutif tulisan Muhammadun AS (Jawa Post, 07/07/2012) mengatakan bahwa umat beragama terasa mulai menggunakan jubah namun berprilaku tidak baik. Ini merupakan implikasi dari pola pemahaman yang masih split (pecah) terhadap penomen kehidupan. Hal ini pun pasti terjadi prinsip kapitalisasi fastabiqul khaerat dalam konteks bayar membayar dalam perlombaan kebaikan. Padahal yang harus kita ketahui bahwa konsep manusia merupakan mahluk sosial yang bisa di katakan semirusak sehingga seringkali lahir generasi yang hipokrit tanpa bisa memaknai bahwa kelahiran manusia di peruntukan untuk menjaga dan memelihara bumi dan segala isinya berdasarkan perintah tuhan. Ketakutan selama ini peran fastabiqul khaerat sudah terjebak dan mengalami kekosongan dalam suasana naluri manusia untuk berfastabiqul khaerat. Persoalan inilah yang di alami oleh umat beragama yang kebanyak artificial dan adanya defotisme hawa nafsu yang memorak-morandakan nurani manusia. Nabi tidaklah memerintahkan umatnya untuk selalu sibuk dengan ritual yang membosankan, namun bagaimana umatnya harus bisa memberikan kontribusi mengeluarkan saudara-saudaranya yang masih tertinggal dan mengalami kemiskinan serta terbelakang. Berfastabiqul khaerat dalam menolong sesama dan memberikan penghidupan bagi kaum miskin merupakan panggilan nurani yang suci dari lubuk hati sehingga dapat menemukan makna substantif dari Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat. Sudah saatnya umat beragama kembali pada substansi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat agar kita semua menjadi bagian yang terindah sebagai kado kebahagiaan dari Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar