Pengantar
Sebagai sebuah organisasi yang selalu berusaha mempelopori gerakan-gerakan
organisasi kepemudaan yang lain, Ikatan mahasiswa Muhammadiyah selalu berpijak
pada sebuah sejarah yang membuat IMM ini lahir, sebuah sejarah yang seharusnya
selalu menjadi cambuk ketika para kader Ikatan sudah mulai kehilangan
kepeloporannya.
Sebuah idemtitas yang bisa membedakan IMM dari
organisasi-organisasi lain di saat organisasi-organisasi kepemudaan yang lain
mulai terperosok pada jerat kekuasaan dan politik vertical, IMM tetap bersih
dan selalu berusaha bersih.
Hand Out
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh
gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang
terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan
intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman
Alkindi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sejak awal berdirinya, IMM sebagai ormas mahasiswa Islam
terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. IMM
terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah. Sebagai organisasi otonom (ortom)
Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM
adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana
pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual
enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang
digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran
individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua,
Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai
moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan
pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, courage atau keberanian dalam
melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap
permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.
Pengertian
Ideologi
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi
merupakan keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar
rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat
dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok
sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan,
mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat.
Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat
apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling
dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide,
moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi
lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis
memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’
manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan
kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga
kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut
juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat
realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian
selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan
norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di
tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di
atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan
apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang
tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa
reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi
Marxisme.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh
ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami
format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu
memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah
terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu
unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.
Pendekatan teologis, sebagai basis
ideologi IMM
Pemikiran teologi dalam ideologi IMM bersumber dari ajaran aqidah yang
dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan
pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran
teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas
transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran
aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian kader IMM
merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
IMM, sebagai underbow ormas Islam, tidak bisa lepas begitu
saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai
gerakan sosial keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai
landasan teologis dalam berpikir, bertindak dan berinovasi. Aspek
teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah melancarkan purifikasi
agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau
takhayyul, bid’ah dan khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya
Muhammadiyah ingin melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir
umat yang lebih “membumi”, tidak mistis dan metafisis semata. Pada konteks
historis, pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di
Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah
cukup mengesankan.
Kita meyakini teologi yang melatari ideologi IMM tidak
berhenti pada tataran wacana, melainkan membumi dalam bentuk praksis
pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, menyatakan
perlunya menggeser teologi eksklusif kearah teologi yang liberatif terhadap
kaum tertindas. Jalan Allah dan Rasul
dijadikan poin niat transformasi mental karena Allah dan Rasul merupakan jati
diri eksistensial kemanusiaan. Dengan kata lain, Allah merupakan poros yang
menjadi substansi kebenaran dan Rasul adalah poros moralitas universal yang
pada poros itulah seluruh dimensi kemanusiaan kembali. Allah adalah kebenaran
itu sendiri yang personifikasi moralitasnya adalah Rasul. Dengan makna seperti
ini, pemancangan niat itu adalah pengakuan untuk turut merasakan dan terlibat dalam
proses-proses substansialisasi manifestasi nilai-nilai kemanusiaan yang
liberatif-emansipatif dan menerjemahkan nilai menjadi fakta sosial yang damai
dan menyejukkan secara eksistensial.
Ideologi IMM
Upaya memahami ideologi gerakan IMM merupakan hal yang sangat
penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian
ilmu sosial. Namun hingga kini,
kajian tentang ideologi khususnya dalam gerakan mahasiswa sangat minim.
Maka, identitas ideologi IMM yang niscaya terefleksikan dalam praksis gerakan
IMM perlu dikaji.
Dalam tataran konseptual sebenarnya IMM memiliki sebuah
konsep yang komprehensif. Trilogi Iman-Ilmu-Amal yang kemudian juga berkaitan
dengan Trilogi lahan garapan Keagamaan-Kemasyarakatan-Kemahasiswaan dan juga
trikompetensi kader Spiritualitas-Intelektualitas-Humanitas memiliki konsep
yang khas dibanding pola gerakan lain. Hal ini bisa dilihat dalam struktur
organisasi IMM yang ingin mengakomodasi semua realitas Mahasiswa : Bidang IPTEK
yang berorientasi pada Profesionalisme, Bidang Sosek yang berorientasi pada
Gerakan Kongkrit Pemihakan–Dakwah-Pemberdayaan dan Bidang Khikmah yang berorientasi pada peran IMM sebagai organ
intelektual kritis-etis-politis.
Dari asal katanya, kata intelek berasal dari kosa kata
latin: Intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan.
Sedangkan kata intelektual berarti suatu
sifat cerdas, berakal, dan berfikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata
intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau
juga disebut kaum cendekiawan.
Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah
doktrin filsafat yang menitikbertkan pengenalan (kognisi) melalui intelek serta
secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indra serapan. Intelektualisme
berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut
intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indra serta menganggap
pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh. Di dalam
filsafat modern, intelektualisme menentang keberatsebelahan sensasionalisme
yang hanya mengandalkan indra, antara lain didukung oleh Rene Descartes
(1596-1650), kaum Cartesian, serta sampai batas tertentu oleh spinizisme. Pada
masa kini, bercampur dan tambah dengan aliran agnitisme, intelektualisme dibela
positivisme logikal.
Dalam pembahasan tentang identitas Intelektual IMM, maka
tidak terlepas dari konteks Intelektual
Islam. Bila dikaitkan dengan arti harfiah intelektualime di atas, maka bisa
dikatakan bahwa kata Intelektualime mirip dengan budaya berfikir yang dibangun
oleh kaum Mu’tazillah yan mewakili rasionalisme Islam.
Mu’tazillah sendiri adalah aliran rasionalisme dalam
teologi Islam yang muncul sejak permulaan abad ke-2 Hijriyah atau perempat abad
pertama abad ke-8 Masehi. Pemikiran rasionalismenya itu hanya terikat kepada Al
Qur’an dan Hadist Mutawir, atau minimal hadist yang diriwayatkan oleh 20 sanad.
Pendiri aliran ini Washil bin Atha’ dan pendukungnya antara lain Abul Huzail al
Allaf, Ibrahim an Nazzam, Muammar ibnu abbad, Muhammad al-Jubbai dan al Jahiz.
Dalam paham mereka, Al-Qur’an adalah mahluk dan diungkapkan dalam huruf atau
suara yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu, tempat dan bahasa
tertentu. Ayat-ayatnya yang menyebutkan tangan, wajah, mata Tuhan dan yang
seperti itu hendaklah difahami secara metaforis.
Selain itu menurut mereka Tuhan hanya berbuat baik
danmesti berbuat demikian sebagai kewajiban-Nya untuk kepentingan manusia. Ia
tidak bisa dilihat dengan mata jasmani, bukan saja di dunia, juga diakhirat.
Manusia dalam pandangan mereka mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengetahui
adanya Tuhan, mengetahui baik dan buruk serta mengetahui dengan akalnya
kewajiban untuk bersyukur kepada Tuhan dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki
kemauan bebas dan kebebasan bertindak: dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan
mengadilinya nanti di akhirat.
Bila didasarkan pada pengertian harfiah tentang intelek
atau intelektual yang berkaitan tentang akal fikiran atau mentalitas
berdasarkan kemauan berfikir Al Qur’an banyak membahas. Sebagai contoh tentang
akibat orang-orang bodoh. Pada Surat Al An’aam ayat 119. dijelaskan tentang orang-orang yang
melampaui batas kerena tidak berpengetahuan. Atau surat Al An’aam ayat 144
tentang relasi ketiadaan pengetahuan dengan kezaliman. Hal ini sejalan dengan
pengakuan keberadaan akal seperti pada Az Zumar ayat 91. dan kedudukan bagi orang yang berilmu
seperti ayat.
Dari istilah intelektual muslim (Islam) Dawam Raharjo
mengartikan bahwa ke-intelektualan adalah ekspresi dari ke-Islaman. Atau yang
lebih jelas lagi, ke-Intelektualan adalah konsekuensi dari ke-Islaman. Artinya,
bahwa sikap, budaya, kompetensi (dan status) intelektual seorang muslim adalah
ekspresi dan konsekuensi dari deklarasi
ke-Islaman muslim tersebut. Sehingga
tampak secara tegas perbedaan
antara orang Islam yang intelektual dan non-Islam yang intelektual.
Ke-intelektualan seorang muslim adalah dikarenakan ke-Islamannya, sedangkan
ke-intelektualan non muslim tidak berdasarkan ke-Islaman. Pengertian di atas
hanya berdasarkan sebab terjadinya suatu ke-intelektualan, sedangkan hasil
kongkrit (materiil) dari suatu ke-intelektualan non-muslim bisa saja lebih
canggih atau lebih primitive.
Dari konsep intelektual Islam, terlebih dahulu perlu
dikaji konsep Ulil Albab. Istilah
Ulil Albab di dalam Al Qur’an terdapat pada beberapa ayat. Salah
satu ayat tertera pada Ayat ke 190-191 Surat Al Ali Imron.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي
خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
“Sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi, dan
(proses) pergantian malam dan siang, adalah tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi ulil albab (orang-orang yang berfikir [menggunakan
intelek mereka]). Yaitu orang-orang yang berzikir (berlatih diri dalam
mencapai tingkat kesadaran akan kekuasaan Allah) dalam keadaan berdiri,
duduk, dan dalam keadaan terlentang, dan senantiasa berfikir tentang (proses)
penciptaan langit dan bumi, (sehingga mereka menyatakan) wahai Tuhan
kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia. Maha suci
Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS 3: 190-191)
Dalam
ayat Ali Imron 190-191, dinyatakan adanya aspek hasil pengamatan realitas
(tanda-tanda alam), dan aspek hasil interpretasi intrinsik (proses) sebagai
hasil proses fikir dan zikir. Di dalam konsep ini, kata ulil albab
sebagai padanan arti Intelektual berarti ada kesinambungan antara kemampuan
berfikir, merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris
dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam
analisisnya dengan mengasah hati dan
rasa melalui berzikir.
Dalam
perkembangan kaitan antara fikir dan zikir ini Taufik Pasiak menyatakan bahwa
kadang kita salah mengartikan fikir sebagai kerja otak dan zikir sebagai kerja
hati. Karena sesungguhnya setelah adanya perkembangan dalam ilmu kedokteran
dalam bidang neurologi kedua kerja tersebut merupakan kerja otak dimana didalam
organ otak ada organ yang berfungsi untuk melakukan tugas berlogika (untuk
kerja fikir) dan ada organ yang berfungsi untuk intuisi (kerja zikir). Bahkan
Taufiq Pasiak menyatakan bahwa sesungguhnya terjemahan kata qolb (qolbu)
adalah menunjuk organ otak juga. Perasaan di dada itu adalah karena aliran
darah yang mengalir tidak teratur di jantung, sehingga kadang orang menyebut
bahwa qolb (terjemahan kata hati dari kata inggris heart bukan liver)
itu berada di dada. Jadi otak bukanlah
hanya fikiran karena otak tempat proses berfikir dan pengendali perasaan. Untuk
pembahasan selanjutnya kata Ulil Albab dianggap sama dengan kata
Intelektual (Islam).
Epilog
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah mengukir sebuah sejarah yang
tidak mungkin mengelak dari konsep utama pendiriannya sebagai gerakan
intelektual. Dalam realita kemusliman, ke-Indonesiaan, ke-Muhammadiyahannya IMM
memiliki sebuah dilema kesejarahan yang menjadikan dirinya seakan inferior
dibanding organ gerakan Mahasiwa lain di Indonesia. Intelektualitas sebagai
konsekuensi ke-Islaman seseorang memerlukan pemetaan untuk membentuk jati diri
yang lebih mantap. Dialektika identitas diri dari konsep Ulil Albab,
Intelektual-Intelegensia, hingga Intelektual Organik perlu direlasikan dengan
idealisme dakwah Islam, profesionalisme kader dan pemihakan. Sehingga peran
kesejarahan IMM akan mantap khususnya dalam proses melakukan perkaderan demi
tersedianya kader Bangsa, Ummat dan Persyarikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar