Jumat, 15 November 2013
Sampah Numpuk, Warga Blokir Jalan Ciwalen
Garut - Warga Kelurahan Ciwalen, Kecamatan Garut Kota, kesal karena selama 2 pekan sampah tidak diangkut petugas. Mereka membuang sampah di jalan. Bau busuk menyebar ke permukiman.
Ratusan warga menumpuk sampah di Jalan Bratayua, Kelurahan Ciwalen. Akses jalan tersebut terblokir total. Warga harus memutar arah saat melintasi kawasan tersebut.
"Sudah 2 minggu tidak diangkut. Baunya sangat mengganggu," kata warga Asep (37) di lokasi, Jumat (15/11/2013).
Biasanya, tiap hari sampah diangkut ke TPA. Namun sejak 2 minggu terakhir, tidak terlihat petugas bekerja. Warga sudah menyampaikan masalah itu ke pemerintahan setempat, tapi tidak direspons.
"Kami akan blokir jalan dengan sampah sampai petugas datang," kata Asep kesal.
Kendaraan harus memutar arah saat melintasi kawasan tersebut. "Kalau ke sini nggak bisa, harus memutar agak jauh," ucap pengguna jalan, Budiman (42).
Hingga saat ini, sejumlah warga masih berada di dekat tumpukan sampah. Mereka menunggu kedatangan petugas mengangkut limbah rumah tangga tersebut.
Sabtu, 07 September 2013
PELANTIKAN PC IMM GARUT
Alhamdulillah Tepatnya Tanggal 06 September 2013 Pelantikan PC IMM KAB GARUT yang di ketuai Oleh Fahrurroji Firman Al-fajar terlaksana dengan tartib dan meriah di gedung Pendopo Alun - alun Garut dengan di iringi nyanyian Lagus Kebangsaan indonesia, Mars Muhammadiyah, Mars IMM, yang di iringi oleh TIM Paduan Suara IMM STAIDA Muhammadiyah Garut, dengan di hadiri pula dari berbagai otonom seperti Bupati Garut, Ketua PW Muhammadiyah, Aisiyah Garut, IPM Garut, Tapak Suci, DPD IMM Jawa Barat dan lain sebagainya .adapula dari berbagai Organisasi Kemahasiswaan seperti BEM IMM STAIDA M Garut, HMI, LDK, dan lain sebagainya .
Rapat Konsolidasi dan Silaturahmi DPD IMM Jawa Barat
Kamis, 05 September 2013
Banyak Cara Untuk Membuat Hati Senang Dan Tubuh Semangat.
semangat aksi di gedung sate |
1. Tersenyum
Biasakan untuk tersenyum dengan tulus. Tersenyumlah saat bangun di pagi hari dan bersyukur Anda masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup.
2. Bangun lebih awal
Usahakan bangun pagi sedikit lebih awal, agar bisa mempersiapkan diri lebih santai menghadapi kegiatan selanjutnya.
3. Istirahat
Pastikan lingkungan tidur Anda nyaman untuk beristirahat. Matikan lampu dan jauhkan alat elektronik agar mendapat tidur yang berkualitas.
4. Jangan lupakan hobi
Sisakan waktu sedikitnya 10 menit sehari untuk melakukan hobi Anda.
5. Berhenti mengeluh
Mengeluh merupakan kebiasaan paling ampuh untuk memperkeruh suasana hati.
6. Teman dan keluarga
Orang terdekat yang menyenangkan merupakan obat pendongkrak mood paling efektif. Jangan lupa selalu sediakan waktu luang untuk beraktivitas atau sekadar mengobrol ringan dengan keluarga. Bangun hubungan yang dekat dan berkualitas dengan keluarga serta teman dekat.
7. Kata-kata positif
Jangan hanya selalu mengumbar kata cinta ke pasangan. Katakan cinta juga kepada orang tua, teman, atau keluarga Anda. Jika masih ada perasaan malu, ungkapkan dengan bentuk lainnya yang tetap menunjukkan cinta dan perhatian Anda.
8. Menabung
Walau sedikit usahakan rutin menabung setiap bulannya.
9. Menjaga kesehatan
Olahraga, makan yang sehat, dan berlibur merupakan kunci untuk mengurangi stres dan hidup sehat. Luangkan waktu 30 menit setiap harinya untuk berolahraga ringan.
semoga bermanfaat
Senin, 26 Agustus 2013
HASIL MUSYCAB IMM KAB GARUT DAN PLENO KORKOM
Senin, 10 Juni 2013
JARGON DAN JATI DIRI IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
“Sebuah Inspirasi dari Kajian
Malam Minggu”
Oleh :
IMMawan Uday N’ Ikhone
PK PAI IMM STAIDA Muhammadiyah Garut |
Dalam studi keilmuan
dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli peneliti bahwa hakekat yang dicari
oleh manusia adalah kebahagiaan tanpa batas. Tafsiran kebahagiaan itu memiliki
dimensi yang sangat luas dan tidak di persempitkan oleh prilaku manusia.
Kalimat Billahi dalam tatanan bahasa Indonesia maupun
keistilaan merupakan sebuah perwakilan hati nurani untuk mencapai kebenaran yang
di ukur melalui kekuatan moralitas dan prilaku manusia. Billahi adalah
refresentasi naluri dan gagasan yang di aktualisasikan dalam prinsip nilai
kemanusiaan sehingga menjadi bagian yang terintegrasi satu sama lainnya.
Sementara kalimat Fii Sabilil haq membawa makna tersendiri dan tak
terpisahkan dari substansinya dengan pemaksimalan potensi diri yang didukung
oleh kekuatan moralitas dan prilaku yang baik sebagai jembatan untuk mencapai
keberkatan dan keberkahan. Arti jembatan dalam prinsip Fii Sabilil haq adalah
alat untuk menunaikan segala kemampuan gagasan, material, spirit dan etos kerja
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keillahiannya sebagai spirit amal sholeh
menuju kebahagiaan hakiki.
Keberlanjutan Fii
Sabilil haq dalam prinsip nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan
apabila segala sesuatu yang dikerjakan sesuai dengan hak dan kewajiban tanpa
ada rasa iri hati, dengki, hasat dan lain sebagainya. Namun hal ini sangatlah
sulit ditemukan pada zaman sekarang ini karena pandangan pragmatisme sudah kuat
dalam naluri manusia yang terkadang mengalahkan rasa keimanan manusia itu
sendiri. Hal inilah yang tak bisa dipisahkan oleh individu sehingga menyebabkan
kerakusan tanpa batas dengan tidak memperhitungkan akibatnya. Sementara dimensi
manusia tentu saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan setiap haq manusia
juga terdapat haq orang lain. Ini sebenarnya yang sangat jarang di pahami oleh
manusia, padahal dimensi ini merupakan bagian terpenting sebagai proses
pemaksimalan potensi diri untuk merebut kebahagiaan yang hakiki.
So, cobalah kita
renungkan bagaimana yang terjadi dalam proses sebuah system bernegara dan
berbangsa atau berorganisasi sekalipun, pasti kekerasan terhadap nuraninya
sendiri justru menjadi sangat kental misalnya melakukan korupsi, berusaha tidak
jujur, apalagi sering berbuat tidak adil. Hal semacam ini merupakan aspek
kongkrit dari pengambilan hak orang lain dan melakukan penghianatan terhadap
konvensi kolektif dari sebuah aturan yang disepakati bersama. Bahasa haq
merupakan symbol sekaligus kekuatan baru dan tumpuan harapan manusia
seutuhnya. Namun ada hal yang berbeda ketika haq di posisikan
sebagai kekuatan natural material maka yang terjadi justru pembelotan
makna haq itu sendiri yang mengakibatkan krisis prilaku baik.
Dimensi haq akan selalu melahirkan efek negatif antara
konvensi kolektif dan konvensi individu. Dua faktor itu penyebab pendeknya arus
kesadaran pada manusia oleh karena minimnya tafsir internalisasi diri terhadap
problem yang terjadi antara individu dan basis sosial. Keuniversalan Fii
Sabilil haq adalah jembatan untuk menengahi segala faktor negatif tersebut
sehingga kesadaran manusia bisa terarah dan fokus pada amaliahnya, maka dengan
seperti itulah manusia akan menuju pada sirathal mustakiim yang
dapat menciptakan perdamaian yang hakiki, dan mengeluarkan dari jeratan hutang
amal.
Sehubungan
dengan berbagai pandangan para akademisi Islam maupun para ahli fiqih bahwa
keragaman (multi persfektif) tentang makna sebenarnya Billahi
Fii Sabilil haq, itu merupakan khasanah yang tak boleh ditinggalkan
karena hal tersebut akan memperkaya proses iqranisasi yang bersumber tetap pada
kalam illahiah. Kemudian khasanah tersebut di urai dalam satu naungan
keberimanan untuk menjadi pandangan dan keyakinan yang mantap dan solid
sehingga segala dimensi ruang dan waktu terisi oleh amaliah yang tidak terukur
dan tak terhitung. Satu naungan tersebut haruslah di lengkapi dengan berbagai
faktor teologi dan ideologi yang di hubungkan dengan faktor keragaman sosial
manusia sehingga memberikan pemahaman yang baik sebagai panduan dan jalan
menuju kesadaran amaliahnya sebagai titik kulminasi penuh dalam proses
keduaniaannya. Naungan itu lebih di satukan dalam dimensi Fastabiqul Khairat
(berlomba-lomba dalam kebaikan) tanpa mengenal tapal batas dan waktu.
Dengan demikian Fastabiqul Khairat merupakan langkah strategis
manusia sebagai alat penyempurnaan segala aspek ibadah, keimanan, ketaqwaan dan
keyakinan akan sang pencipta. Makna inilah yang akan kita jadikan sebuah
mainstream sebagai jalan doktrinal ideologi untuk mencapai kesempurnaan haq di
jalan Tuhan.
Selama ini
banyak tafsiran dan metode yang di gunakan oleh berbagai ulama maupun akademisi
Islam yang berusaha menempatkan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat sebagai
bagian dari aksi radikalisasi dan meminta agama sebagai hakim dengan melakukan
pembenaran terhadap radikalisasi serta kekerasan tersebut. Hal ini sala satu
kelemahan dalam memberikan pandangan terhadap makna Billahi Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat sehingga menyebabkan sesat fikir dan tidak obyektif
menelisik perkembangan dunia pada zamannya. Akibat dari sesat fikir tersebut
banyak melahirkan generasi ulama dan akademisi Islam yang justru membawa Islam
pada wilayah mencoreng wajahnya sendiri dengan melakukan kekerasan serta radikalisasi
atas nama agamanya. Sedemikian rupawan dan keragaman yang multi persfektif
timbul di tengah ulama dan para akademisi dalam memformulasikan makna Fii
Sabilil haq Fastabiqul Khairat. Ini harus dikritik sebagai bentuk
penumbuhan sikap egaliter dan moderat terhadap perkembangan zaman dalam
pandangan Islam. Mengapa? sederet dan bersusunan persoalan yang sering kita
jumpai belum bisa menuntaskannya sebagai indikator bahwa kita sesungguhnya
belumlah mengalami kemajuan yang signifikan. Seumpama saja persoalan “maaf” TKI
misalnya dan kemelut politik di negeri ini yang tidak kunjung ada common
will untuk menyelsaikannya, padahal itu merupakan sebuah tanggungjawab
besar dalam system khalifah (kepemimpinan), namun yang terjadi
meninggalkan bekas luka yang mendalam di hati umatnya (rakyat) sendiri.
Seharusnya Fii
Sabililhaq Fastabiqul Khairat dijadikan cambuk untuk membangun
peradaban yang lebih baik dan menata seluruh sendi kehidupan dengan rapi, aman
dan sentosa. Kerinduan akan perdamaian sala satu misi yang harus di gapai
melalui instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat, kerinduan
perdamaian dan kebahagiaan yang di rindukan itu tak akan pernah lelah untuk
diharapkan sebagaimana apa yang di rindukan oleh tuhannya ketika menunjuk
manusia sebagai khalifah dan menyongsong peradaban yang baik dengan
instrument Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat dalam menggapai
kehidupan jannah. Apapun latar belakang manusia akan tetap merujuk dan
bersumber pada kebenaran itu melalui fastabiqul khaerat sebagai alat
penyempurnaan segala amaliah yang ada. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat merupakan
deklarasi nurani setiap manusia untuk berbuat baik tanpa ada larangan, selagi
itu semua dalam koridor masing-masing dengan memperhatikan asas teologisnya.
Namun di balik segala yang di pandang baik pasti ada terselip sesuatu yang di
anggap keburukan, entah itu ada indikasi provokasi negatif terhadap prilaku
atau terlepas dari segala kemungkinan buruk, karena merasa telah mengalami
kepuasan sehingga provokasi negatif pun selalu ada. Mengutif apa yang dikatakan
oleh Djazman Al Kindi bahwa kepuasan cenderung membawa mudarat dan mengalami
dekandensi sehingga semua insan manusia sering sfekulatif dalam pandangannya.
Kepuasan inilah yang sering menyebabkan tanpa control sehingga lambat laun
mengalami krisis moralitas dan prilaku baik.
Kita bisa
ilustrasikan bahwa kekacauan yang terdapat di tengah jalan penyelsaiannya
merupakan kecendrungan yang sifatnya tetap dan sering menjadikan sarana
emosional yang tak tertahankan baik secara nurani maupun fisik. Hal ini
kemudian menjadi kontroversi yang sangat pahit dan hanya merupakan abstraksi
dari kepuasan spesifik. Padahal kita tahu semua bahwa kepuasan adalah alat
analisis amaliah yang paling ampuh sebagai faktor terbesar untuk melakukan
identifikasi dan mengukur tingkat kemampuan berfastabiqul khaeratnya setiap
manusia. Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat tidak dapat di
pisahkan atau di isolasikan dari basis teologis masyarakat, bukanlah seperti
sari buah yang sifatnya homogen dan spesifik untuk di konsumsi. Tepatnya,
intensitas Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sama persisnya
dengan apa yang di lakukan dalam durasi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan
untuk menjawab dan menentukan arah dari kekuatan Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat. Maka setiap yang melakukannya akan mengatakan itu
adalah preferensi yang sungguh-sungguh di perhitungkan sebagai kuantitas piñata
peradaban. Tidak ada yang keberatan untuk menggunakan jalan ini dan kalaupun
meninggalkan makna Fii Sabilil haq Fastabiqul Khaerat sebagai
standar dan mengantikannya dengan prilaku maka menjadi jelaslah bahwa itu hanya
alat polesan nuraninya sebagai bentuk pertobatan sementara, sehabis itu di
landa oleh krisis moral dan kejelekan tiada akhir.
Pada
hakekatnya mengimplementasikan Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul
Khairat dalam arus besar pemikiran kita akan menjadi sslebih baik,
karena sudah jelas bahwaFastabiqul Khaerat di jalan yang terbaik
itu lebih bermanfaat daripada kita menjadi babi terperangkap dan buta tuli
terhadap esensi kehidupan. Coba kita bawa alam argumentasi Fii
Sabililhaq Fastabiqul Khairat dalam nurani dan pikiran murni kita
untuk selangkah lebih jauh lagi dan anggaplah selama ini kita banyak meraup dan
mendapatkan kesenangan secara langsung dan memperoleh melalui tahapan yang
panjang, dibandingkan dengan kini yang kita hadapi dan lihat bersama drama
kemungkaran tanpa layak di pertontonkan dan di contohkan. Mengutif tulisan Muhammadun AS
(Jawa Post, 07/07/2012) mengatakan bahwa umat beragama terasa mulai menggunakan
jubah namun berprilaku tidak baik. Ini merupakan implikasi dari pola pemahaman
yang masih split (pecah) terhadap penomen kehidupan. Hal ini pun pasti terjadi
prinsip kapitalisasi fastabiqul khaerat dalam konteks bayar membayar dalam
perlombaan kebaikan. Padahal yang harus kita ketahui bahwa konsep manusia
merupakan mahluk sosial yang bisa di katakan semirusak sehingga seringkali
lahir generasi yang hipokrit tanpa bisa memaknai bahwa kelahiran manusia di
peruntukan untuk menjaga dan memelihara bumi dan segala isinya berdasarkan perintah
tuhan. Ketakutan selama ini peran fastabiqul khaerat sudah terjebak dan
mengalami kekosongan dalam suasana naluri manusia untuk berfastabiqul khaerat.
Persoalan inilah yang di alami oleh umat beragama yang kebanyak artificial dan
adanya defotisme hawa nafsu yang memorak-morandakan nurani manusia. Nabi
tidaklah memerintahkan umatnya untuk selalu sibuk dengan ritual yang
membosankan, namun bagaimana umatnya harus bisa memberikan kontribusi
mengeluarkan saudara-saudaranya yang masih tertinggal dan mengalami kemiskinan
serta terbelakang. Berfastabiqul khaerat dalam menolong sesama dan memberikan
penghidupan bagi kaum miskin merupakan panggilan nurani yang suci dari lubuk
hati sehingga dapat menemukan makna substantif dari Fii Sabilil haq
Fastabiqul Khairat. Sudah saatnya umat beragama kembali pada
substansi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat agar kita semua
menjadi bagian yang terindah sebagai kado kebahagiaan dari Tuhan.
Jumat, 24 Mei 2013
DISKUSI PANEL PELAJAR - MAHASISWA DALAM RANGKA PELANTIKAN PENGURUS IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA GARUT (IJTI GARUT) di Hotel Agusta Garut, 21 Mei 2013
Oleh
: Agus Saefudin
(PK Ekonomi Syariah IMM STAIDA Garut)
Ketua Umum IMM STAIDA Muhammadiyah Garut, beliau menyuruh untuk sebagian anggotanya
untuk mengikuti acara Diskusi Panel Pelajar Dan Mahasiswa dalam rangka pelantikan
pengurus IJTI Garut. dengan di Hadiri
oleh perwakilan Bupati, Mentri, Rektor Universitas Garut, Alumni IJTI dsb, juga
di hadiri oleh peserta dari Pelajar mulai dari tingkat SMA, Mahasiswa dan Salah
satunya Mahasiswa STAIDA Muhammadiyah
Garut.
Seperti
biasa peserta hanya menyimak apa yang akan di sampaikan oleh para
panitia penyelenggara. Adapun dalam acara ini ada seseorang pemateri dari KPID
Jabar (Komisi penyiaran Indonesia) bapak Abdul Holiq M.A dengan temanya “Tayangan yang berkualitas adalah tayangan
yang sehat” dan beliau memaparkan bahwa aktifritas masyarakat tidak akan
terlepas dari media karna memang media sudah ada di sekitar kita, dari mulai
radio televisi dan internet yang sekarang sudah membuming, namun yang patut
kita sadari dalam setiap rumah tentu pasti selalu ada Televisi dan tentunya
masyarakat tidak akan mendiamkan benda itu tentu akan di tontonnya.
Semuya masyarakat tentunya tentunya ingin
selalu menonton Televisi dari mulai Anak – Anak, remaja, dewasa, orang tua yang
sudah rentan dan bahkan kucing peliharaan pun akan ikut menonton Televisi dan
inilah yang akan sangat berpengaruh sekali terhadap masyarakat. Bayangkan para
pelajar waktu sekolah setahunnya 800 Jam, sehari 3 – 5 Jam sepekan 18 – 30 Jam
200 hari untuk belajar, dan untuk menonton TV setahun 1600 Jam sehari 4 – 5 jam
sepekan 30 – 35 Jam. Kalo melihat dari prediksi ini yang menonton TV lebih dominan ketimbang
Belajar.
Ketika tadi berbicara mengenai sebuah dampak
dan pengaruh dari media atau salah satunya Televisi berkenaan itu ada sebuah
solusi bagai mana masyarakat perlu tahu literasi media yaitu untuk menjadi
pemirsa yang cerdas dan keritis supaya pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
seseorang agar dapat menggunakan media itu dengan benar dan optimal.
Pengetahuannya adalah adanya adegan perkelahian di sinetron atau di
reality show itu tidak sungguhan iklan bertujuan konsultif, lalu isi media
cendrung di gambarkan berlebihan di bandingkan yang sesungguhnya dan juga harus
mempuyai kemampuan (skill) lalu mengerti teknik Flashback, paham penggunaan
ilustrasi music/sepesial efek dari Film dapat mengngambil suatu manfaat dari
media untuk kebuthannya. Bahkan ketika melihat dan menonton Televisi tubuh kita
harus dalam keadaan fit dan menekankan jumlah waktu yang kita habiskan dala
mengkonsumsi media dengan pikiran kosong dan juga merencanakan atau memprogram
secara sudah isi materi media yang kita biarkan menarik perhatian kita. Lalu mayarakat
akan senantiasa mewaspadai dampak dari media dan akan dapat mengantisipasinya,
pemirsa akan menanggapi pesan media secara kritis
Pemirsa atau penonton harus cerdas dan kritis
supaya menjadikan tontonan dari media itu sebagai kegiatan pilihan dengan
membatasi waktunya pilihan program acara yang sesuai dengan usia baik dan
bermanfaat lalu kalo ada tontonan yang melanggar Norma – norma, keritisilah bila
ada isi atau saran yang buruk, dan juga dapat mengadukanya ke Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI)
Kamis, 23 Mei 2013
“Saat Sang Panglima Perang Babilonia Memasuki KELAS”
Oleh : Den-Den Rastugi (PK PAI IMM STAIDA M Garut)
Apa yang ada dalam pikiran
anda saat mendengar atau membaca kalimat sang panglima perang babilonia? Untuk
kaum akademis saat mendengar dan membaca kalimat panglima perang babilonia
secara implisit/tidak langsung pikiran kita akan menarik pandangan pandangan
yang negatif demi mendeskripsikan bentuk fisik/protife dari kalimat tersebut,
mungkin pikiran anda akan mengatakan bahwa panglima perang babilonia adalah
seorang yang haus akan darah, kejam, sadis,tidak
beradab dll, secara parsial pikiran anda dikatakan benar bila di sintesakan
dengan fakta sejarah, adalah
Nebukadnezar dari babiloniaseorangyang kejam.
Dia menyembelih anak-anak Zedekiah, Raja al Quds di depan
khlayak. Tidak cukup dengan itu, anak-anak Zedekiah itu kemudian dicungkil
matanya dan diseret sebagai tawanan (Imam Mahdi, karya Prof. Ali al Kurani), tokoh
ini memberikan daftar panjang terhadap stigma negatif dari sejarah babilonoia
ini walaupun tidak menutup kemungkinan adanya aspek positif dalam kehidupan
babilonia itu sendiri, saya rasa secara tentatif/sementara pikiran anda
telahmemproduksi prototipe/model riel mengenai panglima perang babilonia
tersebut, namun disini saya tidak akan membahas secara holistik mengenai
Panglima perang Babilonia ini, tetapi apabila kalimat panglima perang babilonia
ini di benturkan dengan kata kelas pikiran kita akan menghubungkan prototipe/model
rier tadi dengan gambaran kelas, sebagai sarana belajar peserta didk/mahasiswa,
mari kita kontemplasikan/bayangkan kausalitas/sebab dan akibat yang terjadi
pada peserta didik/mahasiswa tatkala seorang panglima perang babilonia memasuki
kelas dan memimpin peroses belajar
mengajar/PBM. John Goodlad seorang tokoh
pendidikan Amerika Serikat dengan penilitian yang berjudul “Behind Classroom
Doors” yang menjelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan
menutup pintu kelas maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan
oleh guru.
Hal tersebut sangat masuk akal karena ketika proses pembelajaran,
guru bisa melakukanapa saja dikelas, ia akan tampil sebagai sosok fasilitator,inspirator,motivator
ataupun seorang diktator.dan seorang panglima perang babilonia tentu saja akan
tampil sebagai sosok diktator yang tidak disegani tetapi ditakuti oleh para
peserta didiknya, kelas yang dipimpin oleh panglima perang babilonia dengan metode
dan model pembelajaran konservatif/treadisional (otoriter/diktator) ini biasanya
mengakibatkan iklim dari proses
pembelajaran yang begitu sarat dengan ketegangan
dan kekakuan , alhasil/implikasinya dalam proses pembelajaran peserta didik tidak akan berkembang secara
kognitif daya ingat yang fluktuatif (sekarang ingat besok lupa) pola pikir yang
tidak kritis, kemudian secara afektif peserta didik tidak akan mempunyai kepercayaan
diri,motivasi dan keberanian untuk berinteraktif dalam proses pembelajaran,prilaku
kreativitas siswa yang berhubungan dengan pembelajaran sebagai
entitas/perwujudan dari sikomotorikpun tidak akan berkembang/dinamis, itu semuadikrnakan
pada proses transfer of konowledge (ceramah/teacher center)metode yang biasa
dilakukan oleh para diktator kelas ini tidak dapat dicerna secara masak oleh
peserta didik disebabkan yang ada dalam pikiran mereka hanyalah ketakutan
berbuat salah, seperti kesalahan menjawab (sebagai evaluasi pembelajaran) akan
menyebabkan mereka mendapatkan punishment fisik atau punishment verbal yang syarat akan bahasa-bahasa intimidasi, dan
ini akan berimplikasi pada keregresifan/kemunduran sikologis/mental/kompetensi anak menghadapi pembelajaran atau lebih jauhnya dalam
menghadapi kehidupan yang riel di
masyarakat. padahal dalam pasal 19 ayat
(1) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Setandar Nasional, pembelajaran harus
disajikan secara menarik , wujud dari pemblajaran tersebut harus interaktif,
inspiratif menyenangkan, menantang memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memmberikan ruang yang cukup bagi prakarsa ,
kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik.
Para pakar pendidikan modern seperti Prof.
Suyanto, Ph.D. Drs. Asep Djihad, M.Pd. saat ini setuju akan proses pembelajaran
seperti CBSA/studentt centerd (new Learning) dll, yang menuntut adanya proses
egalaiter/konselor antara guru dan peseta didik dalam proses pembelajaran
sehingga memberikan iklim pembelajaran yang menarik, jadi kepada para diktator
kelas/panglima perang babilonia segara bertobatlah .
Referensi :
Suyanto. Dan djihad, A. 2012. Bagaimana Menjadi Calon Guru
dan Guru Profesional. Yogyakarta Multi Pressindo
Kamis, 11 April 2013
DIABOLISME INTELEKTUAL
siapakah actor utama dari fenomena-fenomena itu?
Mereka adalah kaum intelektual yang melakukan pembodohan pembodohan dengan dalih HAM dan Kebebasan Berekspresi.,mereka adalah kaum kapitalis yang telah meninabobokan masyarakat. mereka adalah pemimpin bangsa yang melakukan kesewenangwenangn dengan kedok kepentingan rakyat.
Dalam buku orientalis & diabolisme pemikiran karangan Dr. Syamsudin Arif menjelaskan bahwa Diabolos dalam bahasa kuno Artinya “IBLIS” .maka istilah “DIABOLISME” dapat berarti pemikiran, watak dan prilaku ala iblis ataupun pengabdian kepadanya.apakah iblis atheis?TIDAK. apakah iblis Agnostik?TIDAK.iblis tidak ingkar keberadaan tuhan, iblis bukan tidak kenal tuhan ia percaya seratus persen.lantas kenapa ia dilaknat?Kenal dan tahu saja tidak cukup, pernyataan pengetahuan harus diisertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Iblis adalah prototipe “intelektual ngawur/intelektual keblinger” , ia bertekad menghasut manusia untuk lupa akhiratnya, tergila gila dunia, hobi berbuat dosa dan ragu dalam soal agama.
Bila kita tarik benang adakah kesamaan antara gaya iblis dengan gaya kaum intelektual yang melakukan pembodohan pembodohan atau kaum kapitalis dan pemimpin bangsa yang sewenang wenang itu?
apakah yang kaum intelektual itu tidak tahu tuhan?apakah kaum kapitalis itu yakinakan kebenaran?apakah pemimpin bangsa kita ini tidak beriman?tentu saja tidak.mereka adalah wujud diabolisme intelektual
bila kita tarik persamaan akan memunculkan persamaan antara keduanya yakni :
1. Sama sama mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran . intelektual diabolik (berwatak iblis) bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah namun sengaja memutarbalikan fakta. Yang bathil dipoles sedemikian rupa sehingga Nampak seolah olah HAq dan yang haq di iris dan dipreteli sehingga kelihatan seperti bathil.
2. Sama sama takabur, merasa diri paling bisa, paling jago, paling unggul sehingga meremehkan orang lain , membodoh bodohi orang lain demi kepentingannya.
Sayangnya kaum-kaum itu bukan hanya kaum yahudi, mereka yang zahirnya muslimpun tidak ketinggalan mempropagandakan kebusukan kebusukan dengan pemikiran liar dengan mengatasnamakan HAM, kebebasan berekspresi, demokrasi dan pembaharuan.
Sungguh miris ketika modernisasi dan globalisasi bergema , kelicikan kelicikan yang dilakoni oleh mereka yang berbasis intelektual pun semakin merajalela tentu dengan kedok yang semakin variatif.
Lantas dengan melihat fenomena itu kita lantas diam?membisu?pura pura tak tahu?oh ...ataukah menikmatinya?
Perlu diketahui Perubahan Perubahan besar selalu berawal dari perubahan paradigm.oleh karenanya jika kuntowijoyo mengatakan jadikanlah al-qur’an sebagai paradigma yang akan memunculkan persamaan niat, kaifiyat(cara) dan ghayat (tujuan).maka spirit yang mesti diusung adalah “Back to Al-Qur’an”.al-qur’an adalah pedoman hidup universal, pedoman sains yang tak terbantahkan.Al-Qur’an adalah mukjizat.
Oleh karenanya ikhtiar diskala mikro untuk menjawab problematika-prpblematika diatas adalah peningkatan kualitas diri kita sebagai mahasiswa demi terbentuknya insan yang progressif,progressifitas yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin perubahan (direct of change) yang dapat membantu dalam menjawab problematika keumatan dengan ilmu dan adab.wallahu ‘alam bis shawab
Perjuanganku mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian akan berat karena melawan bangsamu sendiri. SoekarnoOleh : Fahrurroji Firman Al-fajar (ketua Umum korkom IMM STAIDA)
Sabtu, 16 Maret 2013
Filsafat Pendidikan Muhammadiyah
Tinjauan Historis dan Praksis
Pendahuluan
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005,
acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah Muhammadiyah" untuk
menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan
Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan
belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum
berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup
menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya,
dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak
cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru,
pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan
menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar
permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi
filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat
disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya
tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu
abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai
dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum
mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan
tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi bila dikaitkan dengan
upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran
filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah
pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan
orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara
“ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan
melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan
justru akan melahirkan "musuh" dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk
bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan
pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan
seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah
Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan
Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif
hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan
orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar
Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang
ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan
teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan
adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya,
kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi
di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak
apapun yang bukan berasal dari Islam.
Tulisan ini secara hati-hati akan coba
mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada
tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah itu,
pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam
sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan
Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga,
menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah,
dan kemudian ditutup dengan refleksi.
Landasan Filosofis Pendidikan Islam
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh
Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik,
Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan
Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya.
Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang
akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat
dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh
Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut
Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena
itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu menelusuri
konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun
praktisi pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam membincangkan
filsafat tentang pendidikan bercorak
Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan
Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil
sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai
aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat
pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang
pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya
berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam
adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis,
radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai
hakikat pendidikan Islam.
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat
pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai
berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan
ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan
serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap
segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian
yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat
universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan
sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan
antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses
percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat,
mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam,
menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek
material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan
dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang
terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat
pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara
sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan,
pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan.
Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara
sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan,
pengetahuan dan kepribadian sehingga
peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan
hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana
dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang
ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin
keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam
masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan
Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan Muhammadiyah mengacu atau
sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya masih memunculkan masalah,
sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut sebagai sebuah disiplin
ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah itu dapat
memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan Islam.
Meskipun tema pembaharuan pendidikan
Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah
pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang
menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan
oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa
pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber
otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan,
kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat
pendidikan; (2) pendekatan filosofis
yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian
diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk
pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis
yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan
dengan pendekatan filosofis. Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam
tulisan ini, dengan menampilkan Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai
tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan filosofis pendidikan
tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap kajian filsafat atau
logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan lempang untuk
perumusan satu filsafat pendidikan.
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe
man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak
amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi
filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia
membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul
Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit
konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika.
Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam
pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang
kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan
mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di
dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu
mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya
akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari
kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar
sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka
lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan
ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model"
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari
suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih
menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri
sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada
gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun
1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang
dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam
semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah
menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang
hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan
pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja
keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua
sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai
Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua
tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler,
dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum
bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan
atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan
sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya
mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh
klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya
secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan
supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan
isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah,
yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga
Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga
tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi
pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari
Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan,
bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam
konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi
ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok
pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama,
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu
pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah
sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Sekolah Syariah: Sebuah Catatan Kancah
Pendidikan Islam yang bercorak
integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini
telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran
praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir
satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol.
Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam
masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam
tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh
sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik
harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan
sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah
itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif
atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan.
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul
benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan
Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu
dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada
kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau
kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan
Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka
menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model
konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru
dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga
memiliki daya panggil luas.
Ada beberapa sisi menarik dari Sekolah
Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda, memakai sistem full
day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai metode-metode baru
dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru muncul atau gedungnya
itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi dengan manajemen dan
sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta
ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren Sawit, Sekolah Kreatif SD
Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif di Magelang, SD
Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD Muhammadiyah Program
Khusus Kottabarat Surakarta.
Perjumpaan penulis dengan mereka
(kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasi-inovasi pendidikan yang
dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh pada persoalan
krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan kurikulum pendidikan
alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong Catur, sudah
merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama sehingga belum ada
upaya-upaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan alternatif yang
islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan alternatif mulai
tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta di bawah
bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI, Ph.D.
Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang berlangsung
di dalamnya.
Untuk meraih kembali kegemilangan Islam,
menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya untuk segara menafsirkan Al-Qur’an
dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem. Pada instansi pendidikan ada satu
konsep kunci yang musti dirumuskan, yakni ide fitrah berupa tauhid. Dengan
demikian, orientasi filsafat dan kurikulum pendidikan bertitik tolak dari
konsep Tauhid. Bagaimana tauhid mendasari pendidikan di SD Muhammadiyah Program
Khusus, mari kita ikuti penjelasan berikut:
Berseberangan dengan pandangan hidup
(paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan material-duniawiyah
sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru mengaksentuasikan
nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial. SD
Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan pokok kurikulum
yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses pembelajaran.
Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain sedemikian rupa
sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata pelajaran;
pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain diorientasikan untuk
mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah), menumbuhkembangkan, dan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara kasat mata adalah mudah untuk
mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi sekolah
Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah tersebut
diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan menunjukkan
sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya membawa
kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik sangat
mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian, tanpa
disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana kedudukan
Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus, kita simak
uraian di bawah ini:
Sebuah ilustrasi berikut mungkin bisa
membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat
tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang.
Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau arsitek, beragam
bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan…..Dalam konteks pendidikan
ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang aqidah, akhlak,
al-Qur’an-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum menjadi tidak bermakna
manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah
dan bersifat parsial.
Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun
kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan
membutuhkan beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu
setidaknya telah meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam
yang kokoh dan anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat
stategis dalam rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada
yang bertanya, bagaimana aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus?
Untuk sekarang ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling
tidak sebuah penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu
ditekankan di sini, bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang
masih sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di
kemudian hari.
Pertama, peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada
keberanian untuk mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa
orang tua dan guru karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya
kedewasaan masalah ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini
adalah sesuatu yang sangat berharga, dan telah telah menghilang di
sekolah-sekolah konvensional. Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani
mengingatkan orang tuanya yang lupa makan dengan berdiri, mengingatkan mereka
untuk sholat. Fenomena ini disebabkan atau dilatar belakangi oleh (a) alasan
agama yang memang ditanamkan di sekolah ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam
makna positif) dan Yang Maha Benar adalah Allah karenanya selain Dia tidak
perlu ditakuti dan ada kemungkinan melakukan kekeliruan sehingga sudah pada
tempatnya bila diingatkan, tidak terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena
(b) model pembelajaran inklusi yang dikembangkan oleh sekolah. Dengan
pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas dan diampu 2 guru memungkinkan
setiap potensi anak terdeteksi oleh guru sehingga dapat ditumbuhkan secara
optimal.
Kedua, semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama
sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan
untuk selalu shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah
kelihatan bahwa mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan
ada beberapa anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan
ini sedikit banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran
agama. Agama bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak
atau menjadi hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa
yang diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya.
Ketiga, muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk
segera memahami suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua
tema pembelajaran harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan,
baik yang dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang
dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium.
Refleksi
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka
harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi
lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan
kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi
filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan
nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena
setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada
pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan
bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi
manusia-manusia yang unggul.
Jika menengok sekolah/universitas
Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan
sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau
melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani
anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul.
Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan
kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling
tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi
ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem
ujian tulis seperti sekarang ini.
Sembari merumuskan orientasi filosofis
pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan kepekaan dalam memahami
perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul dari
cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut:
1.
Mengusahakan
nilai-nilai islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi
pengembangan moral atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu;
2.
Mengusahakan
peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar
pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler;
3.
Mengusahakan
norma islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi
goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu
menjadi sumber daya insani yang berkualitas;
Mengusahakan
nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan
lingkungan kepentingan bangsa; dan (5) mengusahakan sifat ambivalensi
pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan yang dikotomis.
Langganan:
Postingan (Atom)